Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural

Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang

Pembelajaran PAI Berbasis Multikultural
Pendidikan agama islam tidak harus sama dengan 50 tahun lalu ketika dunia pergaulan budaya, ekonomi, hiburan, dan perdagangan belum berkembang seperti sekarang ini.

Secara umum pendidikan agama islam merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam agama islam. Ajaran-ajaran tersebut terdapat dalam al-qur’an dan al-hadits untuk kepentingan pendidikan, dengan melalui proses ijtihad para ulama mengembangkan materi pendidikan agama islam pada tingkat yang lebih rinci. Mata pelajaran pendidikan agama islam tidak hanya mengantarkan peserta didik untuk menguasai berbagai ajaran islam. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana peserta didik dapat mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam rangka menyadari perbedaan tantangan historis antara klasik-skolastik, era modernitas, dan terlebih lagi pada era modernita tingkat lanjut (post-modern), diperlukan keberanian intelektual untuk merumuskan ulang pola pendidikan islam, baik yang menyangkut materi maupun metodologi.

Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar, yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajarn merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat 1 (a) disebutkan bahwa: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.

Maka dari itu di dalam penyelenggaraan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang ada di sekolah-sekolah umum, meskipun sudah ada kebijakan dari pihak sekolah bahwa siswa yang beragama non islam boleh ikut di dalam pelaksanaan pelajaran PAI yang ada, tetapi pihak sekolah masih tetap menyediakan guru agama yang seagama dengan mereka.

Pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural adalah salah satu model pembelajaran pendidikan agama islam yang dikaitkan pada keragaman yang ada, entah itu keragaman agama, etnis, bahasa dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan karena banyak kita jumpai di sekolah-sekolah umum (bukan bercirikan islam) di dalam satu kelas saja terdiri dari berbagai siswa yang sangat beragam sekali, ada yang berbeda agama, etnis, bahasa, suku, dan lain sebagainya.

Dalam proses pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural, ada tiga fase yang harus betul-betul diperhatikan oleh seorang pendidik, diantaranya ialah:
1. Perencanaan
Perencanaan merupakan proses penyusunan sesuatu yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pelaksanaan perencanaan tersebut dapat disusun berdasarkan kebutuhan dalam jangka tertentu sesuai dengan keinginan pembuat perencanaan. Namun yang lebih utama adalah perencanaan yang dibuat harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran. Apalagi dalam merencanakan pembelajaran pendidikan agama islam yang siswanya terdiri dari beraneka ragam (tidak hanya islam saja).

2. Pelaksanaan
Tahap ini merupakan tahap implementasi atau tahap penerapan atas desain perencanaan yang telah dibuat guru. Hakikat dari tahap pelaksanaan adalah kegiatan operasional pembelajaran itu sendiri.

Dalam proses ini, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh seorang guru (pendidik), diantaranya ialah: aspek pendekatan dalam pembelajaran, aspek strategi dan metode dalam pembelajaran dan proseduar pembelajaran.

3. Evaluasi
Evaluasi adalah alat untuk mengukur ketercapaian tujuan. Dengan evaluasi, dapat diukur kuantitas dan kualitas pencapaian tujuan pembelajaran. Pada hakekatnya evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk mengukur perubahan perilaku yang telah terjadi.
Alat evaluasi ada yang berbentuk tes dan ada yang berbentuk non tes. Alat evaluasi berbentuk tes adalah semua alat evaluasi yang hasilnya dapat dikategorikan menjadi benar dan salah. Misalnya, alat evaluasi untuk mengungkapkan aspek kognitif dan psikomotor. Alat evaluasi non-tes hasilnya tidak dapat dikategorikan benar-salah, dan umumnya dipakai untuk mengungkap aspek afektif.

Rujukan:
1. Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Fokusmedia, 2005), hlm. 101.
2. Sutrisno, Revolusi Pendidikan di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005), hlm. 152.


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com

0 comments: